Saturday 10 May 2014

Kebaya Sempit Ibu Ningsih

Aku sakit. Mungkin karena kelelahan seharian ini mengurus anak-anak didikku kemarin. Acara yang dirayakan disetiap sekolah dasar yaitu perayaan Hari Kartini.

Sendiri dikamar kost yang sepi, tanpa televisi yang berhasil Aku beli dengan honor guru pembantu. Dan, seharusnya ada yang menemani atau sekedar memberi semangat. Namun tidak untukku seorang wanita yang ditinggal pacarnya bekerja diluar Kota.

Kemarin semua murid diwajibkan memakai pakaian kebaya, tetapi untuk yang lelaki hanya memakai pakaian formal saja cukup. Tak mungkin juga murid lelakiku memakai kebaya.

Aku yang juga diperintahkan kepala sekolah tempatku mengajar memakai kebaya. Untungnya ada kebaya bekas Bi Mae yang ukurannya lebih kecil dibanding ukuran tubuhku. Tak apalah yang penting bisa dipakai walau sesak dibagian dada.

kira-kira sesempit ini kebayanya


Kutemui kumpulan muridku yang sudah berbaris rapi hendak pawai mengelilingi Kota Serang yang panas ini. Dibarisan paling depan sudah berjalan Ibu Wati dan rombongan murid kelas 5. Kami menyusul menyusuri bahu jalan Kota Serang yang mulai kusam ini.

Didepan ada Abub si ketua kelas memimpin barisan agar tidak melipir ketengah jalan. Aku menjaga dibelakangnya sambil menahan sakitnya kulit kaki bagian tumit yang mungkin mulai lecet akibat sepatu Hak milik Bi Mae juga. Jalan Serang menjadi berwarna terkena sinar matahari dan pantulan manik-manik kebaya warna-warni.


“Abub, kemejanya bagus” sapaku pada murid kesayangan.

“hehehe, iya Bu, ini punya Ka Agus waktu SD”

Masih gemetar saja hati ini setiap mendengar nama Agus.
Pawai dimulai dari depan gerbang sekolah dan diakhiri di Alun-alun Kota Serang. Cukup jauh dan cukup pula membuat ketiak ini basah. Peduli basah pun tak masalah, ini bukan kebaya milikku. Biar Bi Mae saja yang mencucinya nanti seraya mengeluhkan bau keringat. Sekedar penjelasan saja, Bi Mae itu adalah Bibiku, dengan kata lain Dia adik Ibuku.

Akhirnya rombongan sudah sampai di alun-alun, Aku bisa duduk sebentar meluruskan kaki yang sakit. Sebelum rombongan harus balik lagi ke sekolah, kumanfaatkan saja waktu istirahat ini.

“Eh Bu Ningsih, kecapean yah ?”

“Iya, Bu Wati, kakiku sakit pakai sepatu hak.”

Sepertinya Bu Wati sengaja menghampiri, atau mungkin juga Dia ingin ikut beristirahat disampingku. Sayangnya Dia tidak mau mengaku. Akui saja Bu ini tak membuatmu kehilangan wibawa.

“Pakai kebaya itu ribet yah Bu,” tanyaku “Ibu gitu juga ga sih ?”

“Bu Ningsihnya aja kali yang gak terbiasa.”

“Emang Bu Wati biasa pake kebaya setiap hari ?”

“Iya”

“Hah ?”

“Iya, ini kan pakaian tradisional daerahku” ia menjawab "jadi nyaman-nyaman saja."

“hmm”

Mendengar hal itu aku jadi mengerti, bahwa ribet itu  hal yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak biasa dilakukan namun harus dilakukan. Jelas saja Bu Wati terlihat nyaman-nyaman saja mengenakan pakaian ini, sedangkan Aku, ingin rasanya mengganti dengan kaos oblong gambar hello kitty dan celana pendek yang dikenakan setiap hari dikostan.

“begitupun suatu hubungan loh Bu Ningsih” sahut Bu Wati kembali mengajak ngobrol.

“Kita akan merasa terbebani disaat Kita tak nyaman menjalankannya”

“Oh, gitu yah Bu ?”

“Klo sudah gak nyaman buat apa diterusin, kesiksa nanti”

“Iya yah Bu” jawabku pelan.

“Iyah, Bu Ningsih masih nyaman kan dengan pasangan Ibu yang sekarang?”

Aku diam saja tak bisa menjawab, sepertinya Bu Wati penasaran tentang hubunganku dengan lelaki yang sekarang sibuk bekerja diluar kota. Kepada Bu Wati saja Aku bercerita soal pacarku yang super sibuk itu. Cukup Ibu Wati saja yang tau semua itu. 

Beban menjalin hubungan jarak jauh, beban rindu yang terasa sesak disaat ingin ada disampingnya, dan beban lainnya yang mulai membuat tak nyaman seperti kebaya kesempitan ini.

Dalam hati meronta ingin mengakhiri hubungan ini, sepeti keinganan melepas kebaya ini. Tapi Aku gak mungkin berani bilang kepadanya. Bilang yang sejujurnya, klo hubungan ini tak nyaman seperti kebaya kesempitan. Dan sepertinya Kami harus melanjutkan pawai Kartini, kembali ke arah sekolah lalu pulang ke kostan, kembali merasakan kaki lecet, baju sempit, panas matahari.

Andai Bu Wati tau bagaimana rasanya harus dicurigai setiap hari, harus menahan rindu setiap waktu, Bu Wati terlalu nyaman sehingga tidak merasakan hal itu semua.

Mungkin bisa bertahan untuk hari ini, atau nanti tak mau seperti ini lagi. Mungkin masih bisa ditahan hubungan seperti ini, atau nanti semua akan berakhir.

Seperti ini lah keadaan seseorang yang harus menjalani cinta jarak jauhnya. Sakit sendiri, tak ada yang mengurus dan memperhatikan. Andai saja Aku bisa memilih, pasti saat itu Aku sangat ingin memilih kebaya dan sepatu yang nyaman dipakai. Memilih cinta dan pasangan yang membuatku salalu nyaman.

Hah, mata ini mulai mengantuk akibat obat yang tadi ku minum, jawablah pertanyaan ini sebelum aku tertidur. Pernahkah kalian merasakan hal yang sama ? dan bagaimana seharusnya yang aku lakukan ? selamat tidur.

4 comments:

  1. Hehehe lucu dari cerita kebaya sampe akhirnya malah ke hubungan. Kirain mau dibikin heboh semacam ternyata dia hantu jamu gendong. Hehehehe.
    Oh iya, ada yang sedikit ditanyakan. Itu kenapa panggilan "Ku"-nya huruf pertama selalu huruf besar? Bukannya lebih lazim kalau menggunakan 'ibuku' 'pacarku' bukannya 'ibuKu' 'pacarKu' itu terkesan seperti menyebut Tuhan gitu ngga sih? semacam hamba-Nya. Hehehe.
    Salam kenal ya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. baiklah sudah diedit biar katanya lazim.
      salam terKARUNG :)

      Delete
  2. yah udah keduluan, padahal aku jg mau nanya kenapa 'ku'-nya jadi 'Ku' :D

    rasa tidak nyaman sering menghampiri, tinggal bagaimana kita melewatinya dan mengubah rasa tidak nyaman itu menjadi hal yg mengasyikkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. makannya difollow biar dapet notif setiap ada postingan terbaru :p

      saya akan ubah 'Ku' menjadi 'ku' biar kamu nyaman :p

      Salam terKARUNG

      Delete