Setinggi-tingginya gunung, saat berada di puncaknya
pasti akan ada di bawah telapak kaki kita. Kurang lebih itulah penggalan kalimat
yang pernah saya dengar di video seminar Ippho Santosa. Bagaimana membuktikan
kalimat inspiratif tersebut? Ya naek gunung lah, masa gitu aja nanya sih.
Akhir bulan Mei 2015 Masehi kemarin tepatnya, untuk
pertama kalinya saya mendaki gunung. Bukan gunung kembar milik perempuan yang
masih segar yah. Tapi benar-benar gunung.
Gunung Pulosari di daerah Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten adalah gunung perdana yang saya injak puncaknya. Gunung berapi yang
tidak pernah ada aktivitas atau letusan padahal berjenis stratovolcano yang
memiliki ketinggian 1,346 meter (4,416 kaki) ini memang sangat cocok untuk
pendaki pemula seperti gue. Itung-itung latihan untuk mendaki gunung kembar
perempuan segar nanti. Yaelah itu lagi.
Saat itu rombongan teman yang lain sudah sampai
puncak dari jam 4 sore. Dikarenakan gue dan Xemvot (pria 24 tahun hobby membaca
buku Iqro) memiliki kebiasaan baik yaitu tidur siang dan minta izin orang tua
sebelum pergi main, akhirnya kita berdua menyusul dan memulai mendaki jam 7
setelah magrib.
Pendakian berdua digelapnya malam bermodalkan 1
senter yang dibeli mendadak di Indomampet pinggir jalan, akhirnya kami berhasil
mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah seperti aliran keringat
kami. Tepat jam 10 malam kami sampai di puncak dengan muka pucat disambut teman
lain yang sudah lebih dulu tadi.
Yang namanya pendakian malam sensasinya tentu lebih dibanding siang hari. Ada kunang-kunang, ada gelap, ada dingin dan ada juga suara-suara aneh yang ternyata adalah suara nafas yang mulai kelelahan.
Menikmati malam akhir bulan disana, udara dingin
yang segar, jauh dari suara bising dan suasana hangat para sahabat.
OReG Pulosari 310515 |
Add caption |