Aku bisa menebak saat
ini kamu pasti sedang tertawa. Seperti itu dulu yang aku hanya bisa lakukan
saat Lusi mulai berilusi tentang Rumah Makan Pengemis Banten dan soal Bambu Runcing. Kalian bisa saja saling merindu, atas tawa khas yang memecah sepi bagai merindukan
pagi hari.
Dinginnya pagi berselimut
kabut yang dulu ada di setiap awal hari Serang Banten menemaniku sampai ke
sekolah. Ada PR pelajaran Fisika yang dikerjakan semalaman. Menyebabkan rasa
kantuk sampai waktunya Pak Asep guru Fisika masuk kelas.
“Tanggal berapa
sekarang?”
Suara Pak Asep memecah keheningan kelas setelah semua murid selesai
membaca do’a dan mengucapkan salam.
"Tanggal 15 bulan
Oktober 2007 Pak.”
Jawab serentak para murid.
“Oke, nomor absen 15,
10, 20 dan 7 Maju kedepan tuliskan jawaban PR minggu lalu.”
Ini gaya khas Pak
Asep mengajar. Gaya mengajar yang
memaksa muridnya selalu siap dalam kondisi apapun dan tentunya siap juga
menghafal urutan absen dan tanggal hari ini. Entah gaya ini masih dipakai
sampai sekarang atau tidak, yang aku tau dengan begini setiap pertemuan dengan
pelajaran Fisika semua murid harus siap.
Ternyata nomor absen 7
adalah nomor absenku. Ini sudah kuduga sebelumnya malam hari dirumah saat mengerjakan
3 soal Fisika tentang Teori Momentum.
Hati sedikit berdebar
bukan karena sedang jatuh cinta tapi karena aku hanya menyelesaikan soal nomor
1 sampai 2 saja semalam. Ada satu soal ialah nomor 3 yang tidak selesai aku kerjakan
mungkin sebab sangat sukar dipecahkan rumusnya. Dalam hati kecil aku berkata
semoga saja aku tidak mendapat soal nomor 5.
Aku dan keempat murid
yang disebutkan tadi nomor absennya maju dan bersiap menerima pembagian spidol
dan nomor urut soal yang akan dikerjakan. Detik-detik meneganggakan kamu bisa bayangkan saat itu,
seperti detik-detik tendangan finalti di Final Piala Dunia. Semakin hening
terasa kelas sampai aliran keringat yang jatuh ke lantai pun berbunyi nyaring.
*Crek..crek...
“Kamu kerjakan soal nomor
1, kamu nomor 2, dan kamu nomor eee.. nomor 5.....”
sesaat Pak Asep berhenti
karena jumlah soal tidak sesuai dengan jumlah murid yang kebagian giliran maju.
Ada 3 soal untuk 4 murid yang artinya ada satu murid dapat bebas kembali
ketempat duduk.
Masalah ini diputuskan
oleh Pak Asep yang menyuruh aku dan Lena SUIT menentukan siapa yang bebas
kembali duduk dan siapa yang mengerjakan soal nomor 3. Inilah saatnya, jempol,
telunjuk dan kelingking menyelamatkan nasib pemiliknya, nasib malu dan hukuman
karena tidak sanggup mengerjakan PR Fisika.
Momentum SUIT ini
berhasil memutar balikan kenangan saat
masih bersama Lusi di sekolah dasar. Lusi itu jago SUIT, aku pun heran
bagaimana bisa Lusi selalu melatih ketangkasan ketika adu SUIT. Sempat terfikirkan Lusi itu
Dewa SUIT yang diturunkan khusus ke Bumi untuk mengajariku permainan SUIT. Segala urusan yang menentukan dalam hidup kami ditentukan oleh adu SUIT saat itu.
Dari 10x adu SUIT 15x
Lusi selalu menang, entah matanya yang cepat melihat gerakan jari saat turun
saling berhadapan atau memang jarinya sudah otomatis mendeteksi jari apa yang
akan aku keluarkan untuk berusaha mengalahkannya. Yang kuingat semakin aku
berusaha mengalahkan Lusi dalam suit semakin jelas kemampuan teknik tinggi yang
dia miliki.
Kembali kepada momentum
SUIT antara aku dan Lena untuk menentukan siapa yang kembali duduk, Lena
mengusap telak tangannya ke rok, aku menjilati telapak tanganku sebagai tanda
siap atau bisa disebut kuda-kuda saat bersuit. Dan akhirnya SUIT ini dimulai...
“Ciaaatt........” aku
mengankat tangan sampai melewati belakang kepala.
“hiaaatt...” Lena juga
begitu bahkan sampai kebelakang punggung.”
Murid lain dan Pak Asep
dengan seksama memperhatikan, menunggu dan bersiap melihat hasil pertandingan SUIT antara
aku dan Lena. Ini demi Lusi sang Dewa Suit, demi kebebasanku juga, aku tak mungkin kalah dari Lena
yang amatiran.
Hasil akhir adu Suit Lena (jempol) VS Agra (kelingking) . ilustrasi gambar : lifosa.blogspot.com |