Tuesday 21 July 2015

07 Oktober 1990 Catatan Harian Si Karung Goni


Minggu pagi tanggal 7 oktober 1990 waktu itu, setelah penyatuan kembali negara Jerman, malam harinya orang yang selalu aku panggil ibu, yang selalu aku merasa ada surga ketika dia senyum, yang selalu aku takut jika mengutuk, dan yang selalu marah kalau baju di lemari pakaianku acak-acakan melihat sosok wanita seperti bidadari memakai gaun putih berambut panjang duduk didepan rumah yang baru dia sadari sekarang ini kalau sosok itu adalah kuntilanak.

Ibuku hebat, dia tidak takut, yang dia takutkan adalah bayi yang ada didalam kandungannya keluar disaat sang ayah sedang masuk bekerja shift malam.

Jangan kamu menyangka dia ayah yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan istri yang sedang hamil tua sendirian. Dia sebagai ayah, sebagai tulang punggung keluarga harus bekerja lebih keras demi mencukupi biaya persalinan istrinya. Kamu juga akan sepertinya jika nanti jadi ayah, jangan mau enaknya saja dikamar pengantin, susahnya juga harus kamu rasakan nanti.

          Tangerang, tepatnya Jatake kampung pasifik yang lembab sehabis diguyur hujan berat dari sore tadi. Orang-orang dirumah sibuk sendiri menyiapkan apa yang harus ada ketika menghadapi persalinan meninggalkan ibu dikamar sendiri memandangi kuntilanak dari jendela. Dia masih menganggap itu bidadari penyambut kelahiran bayinya.

Ternyata perut ibu berkata lain, benar saja, sang ayah tak kunjung datang karena sibuk menggunting tumpukan karung goni hasil produksi ditempat dia bekerja. Kuntilanak yang disangka bidadari pun hilang karena sudah ada suara ayam berkokok. Itu pagi hari menjelang subuh saat mulai siaran RRI (Radio Republik Indonesia) bayi didalamnya pun ikut keluar bersama tangis memecah kesunyian pagi.

“Anaknya laki-laki Bu...” itu kata dukun beranak kepercayan warga desa kepada ayahku yang dijemput paksa dirumahnya oleh tetangganya yang perduli dan tidak diberi izin untuk mengadzani sang bayi.

Lalu ayah mengangkat bayinya dengan perasaan sangat bangga, mengadzani ditelinga kanan dan mengkomatkan ditelinga kiri tak lupa dia mencium kening si bayi dan ibu yang masih lemas tapi bisa tersenyum lega.

“Siapa nama anak kita?” tanya ibu dengan suaranya lembut.

Sang ayah kaget karena baru pertamakali punya anak, dia belum menyiapkan nama untuk bayinya, dia hanya menyiapkan biaya persalinan dan bekal makan sebelum bekerja tadi.

“Siapa yah?” bagai bertanya kepada dirinya sendiri lalu hening beberapa menit, “Oh, iya aku sudah dapat namanya” kata ayah bagai mendapatkan ilham.

“Akan kunamai dia, Ghani,” katanya.matanya mantap menatap wajah bayinya. “Lengkapnya, Abdul Ghani.”

Semua orang disana, yang ada ditempat persalinan ibu menyentuh dada masing-masing karena kaget, tidak termasuk dukun beranak yang acuh sibuk mencuci tangannya bekas darah. Ibu juga kaget, kenapa? Karena mereka tahu maksud si ayah memberi nama “Ghani” berasal dari kalimat “Goni” nama karung.

“Bagaimana istriku,” tanya ayah.

Menurutnya langkah lebih baiknya nama bayi itu ditanyakan kepada pemuka agama setempat, karena nama adalah do’a dari kedua orang tua, harus indah dan bermakna, harus tidak termakan zaman, lebih difiqirkan serius.

***

Lelaki tua agak sepuh duduk didepan rumahnya yang sejuk karena sinar matahari pagi tertutup dedaunan rindang pohon belimbing yang sengaja ditanam. Ada tasbih ditangan kananya dan ada rokok kretek ditangan kirinya. Cocok sekali kalau disebut: Ketika Kretek Bertasbih.

          Mbah Hamid. Pemuka agama terkenal di Jatake kampung pasifik, tidak setenar Ki Joko Bodo dan Ki Kusumo. Tapi, dalam cerita ini dialah orang paling berjasa bagi keluargaku.

          “Mbah...” Sapa ayah menghampirinya.

          “Wa’alaikumsalam, apa jangan.” Jawab Si Mbah.

          “Oh, ma’af Mbah.. assalamualaikum.”

          “Wa alaikumsalam... ada apa nih, mau minjem tasbeh?”

          Ayah diam saja.

Tiba-tiba si mbah bilang, “ngasih nama anak yang bener dong,” seolah dia sudah tau biduk permasalahan yang dihadapi oleh keluarga yang baru dikarunia anak itu.

“Yang cocok apa Mbah?”

“Ini bertepatan dengan maulid Nabi, namakan Maulana.” Jawab Si Mbah.

“Terimakasih mbah, itu nama yang baik.”

“Sisanya kamu sendiri dan istrimu yang tentukan.”

Sepulang dari rumah mbah hamid, ayah dan ibu kembali berdiskusi, dia kabarkan nama maulana yang dia dapat dari Mbah Hamid dengan imbalan satu bungkus rokok kretek. Sampai akhirnya “Ghani” dirubah menjadi “Dani”. Lalu lengkap sudah nama bayi tersebut menjadi Dani Maulana. 
Si Karung Goni sekarang lebih gondrong

Saturday 4 July 2015

Siapakah Sosok Ocit Sebenarnya

Hai kawan Ter-Karung... Wabilkhusus yang sudah punya novel gue. Masih inget Ocit Si Anak Kali Sekarang? Dia adalah salah satu tokoh yang ada diantara beberapa judul yang ada di novel pertama gue Lusi Si Ilusiana - Ilusi Cinta di Serang Banten 1997. Siapakah sosok Ocit yang sebenarnya? Apakah dia hanya tokoh fiksi yang gue ciptakan atau dia adalah sosok nyata? Baiklah dipostingan kali ini gue bakal ceritain sosok Ocit yang sebenarnya.

Didalam novel gue Ocit digambarkan sebagai anak kali misterius yang bertemu Agra lalu memberikan ilmu yang sangat berarti dalam hidup. Banyak yang bertanya apakah benar Ocit itu makhluk halus penunggu kali atau dia adalah salah satu finalis kontes Hijab?

Kejadiannya sekitar 2tahun yang lalu, ketika gue masih bekerja sebagai Asisten Kepala Toko disalah satu perusahaan retail sebut saja Indomampet saingannya Agakmampet.

Ditugaskan ditempat yang baru membuat gue harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru juga, outlet yang baru dibangun saat itu dikawasan industri Nikomas Tambak Serang Banten. Gue untuk pertamakalinya menemukan sosok Ocit (katanya nama aslinya RoSHIT...) Umurnya bisa gue tebak sudah cukup dewasa atau 24, tapi tubuhnya kecil seperti anak SD kelas 6. Dan ternyata dia autis.

Setiap hari Ocit berkunjungan ke outlet tempat gue bekerja, membeli 1 botol Mizone seharga 3.400,- dengan membawa uang 1.000,- bisa ditebak siapa yang membayar sisa kekurangannya? Iya gue atau petugas apes yang kebetulan kedatangan dia.

Kami tidak bisa marah dengan kelakuannya itu, marah dengan orang seperti Ocit artinya menyatakan diri lebih autis daripada dia. Bahkan saat dia berbuat hal yang mengesalkan (contoh: beli roko pake seharga 15.000,- dengan uang 1.000,-) kami tak mau marah. Takut dikira gila.

Hal lain dari Ocit yang menarik adalah dia selalu datang pagi hari, hampir setiap pagi sekedar untuk menyapa, dengan muka bangun tidurnya, lengkap belek diujung matanya, lengkap bekas ilernya juga dan gigi kuningnya. Pernah sewaktu pagi gue sedang sarapan dan disapa Ocit, alhasil sarapan yang sudah masuk diperut gue kembali keluar dengan indah setelah melihat mukanya Ocit.

Setiap sore hari Ocit selalu datang didepan outlet, membukakan pintu bagi konsumen yang ingin masuk, mengucapkan salam walau tidak jelas terdengar, ada yang takut, ada yang senang dan ada yang kesal karena tidak jarang dia iseng kepada konsumen.

Manakala sedang ada promo yang berjalan dioutlet Ocit pun hadir, menari-nari mengikuti irama musik yang dia dengar lewat speker besar yang tim gue pakai untuk menarik perhatian konsumen. Toko jadi ramai entah karena promosi atau karena ada Ocit disana.

Gue kangen Ocit, kepolosannya, kebegoannya, semuanya. Pelajaran yang gue dapet dari dia adalah hidup itu tidak usah perduli perlakuan orang lain, walaupun hampir setiap hari dia dibully yang terpenting perlakuan kita terhadap orang lain. Seperti Ocit yang tidak perduli dia dibully, membalas atau melawan saja dia tidak mampu, yang penting dia bisa tertawa dengan Mizone yang dia dapat dengan harga 1.000,-

Gue gak bisa banyak ngebahas Ocit disini, kalau lo penasaran silahkan datang saja ke Industri Nikomas atau cerita lebih lengkapnya ada di novel gue. Dan ini adalah sedikit part tentang Ocit dinovel gue.

Setelah beberapa hari berlalu, Lusi bilang jangan suka maen ke kali diujung jalan, suka ada penampakan anak kecil yang mancing dikali kalau sore-sore, katanya sih tuh anak keturunan bangsa Jin, ada yang bilang juga korban pembunuhan yang tempo hari geger dikampung.
Kampret... berarti kemaren aku ngajak ngobrol anak Jin, pantes ajah si Ocit mukanya agak pucat gitu, tingkahnya aneh dan tatapannya kosong.
Inspirasi itu bisa didapat dimana saja dan kapan saja, bahkan Ocit yang belum jelas makhluk apa bisa ngasih inspirasi, dari situ aku dapat pelajaran berharga banget. Thanks Ocit semoga kau tenang dialam sana, lupakan saja obrolan sore kemarin.

***

            Tahukah kamu setelah kejadian tersebut aku langsung membuat sebuah puisi, masih sedikit ingat isinya sedikit, semoga hampir sama seperti puisi yang sudah dikumpulkan untuk tugas pelajaran bahasa indonesia saat itu. Kira-kira seperti ini puisinya :

“Wahai sore yang indah, merasakah iri engkau kepadaku sekarang. Karena aku sudah punya tempat baru yang nyaman. Aku juga sudah punya teman yang menyenangkan sekarang. Sekarang engkau mau apa lagi wahai sore yang indah ? oh iya engkau akan berganti dengan malam yang tak kalah indah pula.”
 --- Tb. Agra Al- bantani ---
 
Ocit