Malam ini diantara dua sebab yang membuatnya
terasa gelap. Satu akibat malam yang memaksa matahari pergi sejenak dan yang
kedua adalah pandangan yang mulai kabur ditelannya usia.
Percuma saja hanya Aku yang dapat melihatnya, matamu sudah gelap, telingamu sudah tidak peka, biar kuperhatikan lagi sosok itu.
Aroma wanginya semakin menusuk, sedikit demi sedikit tubuhnya terlihat, semakin dekat dan menghampiri Kau yang sedang kuperhatikan sedari tadi. Kini perhatianku terbagi, ada Aku dimasa kini dan ada Istriku Jannah yang nampak setua Kau.
“Jannah hey,,, apakabar, apakah Kau juga tak bisa melihatKu ?”
Aku melihat diri sendiri yang duduk diantara
pekat. Sambil meneteskan airmata namun tak berbunyi. Datang kesini karena
diperintahkan oleh pemerintah langit, yang mampu memberikan bahagia bagi
penduduk bumi.
Telapak tangan kananKu saat itu masih sama dengan yang dulu, pastinya kekuatannya saja yang berbeda sekarang. Aku yang dulu mampu mengangkatmu ketika jatuh ditepi jalan ramai manusia yang sibuk sendiri. Tapi kini Aku lihat Aku yang tak sekuat dahulu, mengangkat tongkat saja sudah gemetaran.
Teriak disamping telingaMu pun kini percuma, dahulu Kau itu hebat, suara hati yang tak berbunyi saja bisa kau dengar. Aku masih ingat ketika Kau menunjuk muka kekasih yang berdusta. Tanpa Kau tanya Kau bisa tau apa yang Dia Kekasihmu itu lewatkan malam lalu.
"Hai Pak Tua, ini tongkatmu. Bisakah Kau kejar dirimu ini yang masih kuat berlari ?"
Entah Dia tuli atau memang Aku yang bisu, janggut putihMu tak bergerak sedikitpun. Hal ini menandakan Kau tak akan pernah bisa mendengar Aku. Jika Aku mengasihaniMu sekarang, itu rasanya seperti Aku yang sayang diri sendiri diwaktu lalu.
Menyesalkah Kau dahulu, tidak mempersiapkan hari sekarang. Disaat Kau ditertawan dirimu dimasa lalu, disaat Kau tak Tau siapa dirimu dimasa lalu, disaat Kau tak ingat apapun tentang dirimu.
Rajutan benang tebal cokelat yang indah menutup sebagian tubuhmu yang kedinganan. Bunyi jam berdetak keras ditengah sepi, tetap saja Kau tak akan dengar sehingga Kau sangka waktu ini tidak berjalan.
"Hai lihat Pak Tua, ada yang datang kesini. Sepertinya Aku kenali sosok itu, aroma tubuhnya saja tak asing lagi."
Telapak tangan kananKu saat itu masih sama dengan yang dulu, pastinya kekuatannya saja yang berbeda sekarang. Aku yang dulu mampu mengangkatmu ketika jatuh ditepi jalan ramai manusia yang sibuk sendiri. Tapi kini Aku lihat Aku yang tak sekuat dahulu, mengangkat tongkat saja sudah gemetaran.
Teriak disamping telingaMu pun kini percuma, dahulu Kau itu hebat, suara hati yang tak berbunyi saja bisa kau dengar. Aku masih ingat ketika Kau menunjuk muka kekasih yang berdusta. Tanpa Kau tanya Kau bisa tau apa yang Dia Kekasihmu itu lewatkan malam lalu.
"Hai Pak Tua, ini tongkatmu. Bisakah Kau kejar dirimu ini yang masih kuat berlari ?"
Entah Dia tuli atau memang Aku yang bisu, janggut putihMu tak bergerak sedikitpun. Hal ini menandakan Kau tak akan pernah bisa mendengar Aku. Jika Aku mengasihaniMu sekarang, itu rasanya seperti Aku yang sayang diri sendiri diwaktu lalu.
Menyesalkah Kau dahulu, tidak mempersiapkan hari sekarang. Disaat Kau ditertawan dirimu dimasa lalu, disaat Kau tak Tau siapa dirimu dimasa lalu, disaat Kau tak ingat apapun tentang dirimu.
Rajutan benang tebal cokelat yang indah menutup sebagian tubuhmu yang kedinganan. Bunyi jam berdetak keras ditengah sepi, tetap saja Kau tak akan dengar sehingga Kau sangka waktu ini tidak berjalan.
"Hai lihat Pak Tua, ada yang datang kesini. Sepertinya Aku kenali sosok itu, aroma tubuhnya saja tak asing lagi."
Percuma saja hanya Aku yang dapat melihatnya, matamu sudah gelap, telingamu sudah tidak peka, biar kuperhatikan lagi sosok itu.
Aroma wanginya semakin menusuk, sedikit demi sedikit tubuhnya terlihat, semakin dekat dan menghampiri Kau yang sedang kuperhatikan sedari tadi. Kini perhatianku terbagi, ada Aku dimasa kini dan ada Istriku Jannah yang nampak setua Kau.
“Jannah hey,,, apakabar, apakah Kau juga tak bisa melihatKu ?”
Sepertinya begitu, Aku hanya bisa melihat
diriKu yang sudah menua dan istriKu yang juga keriput namun tetap indah.
Kondisi Jannah sudah tidak seperti 63 tahun
lalu, tapi raut wajahnya masih indah, senyumnya pun masih berhasil membuat
aliran darah semakin cepat. Kau Jannah yang sama dengan saat Kita bertemu
ditaman dekat sekolah.
Adegan apa yang kalian berdua hendak tunjukkan kepadaKu. Kalian hanya pasangan tua yang tinggal menunngu detik akhir usia masing-masing. Baikklah Aku sabar menunggu, umurKu masih banyak dibanding Aku dan Jannah yang beradegan dihadapKu.
Melihat diri sendiri dimasa tua adalah tak mungkin jika difiqirkan hari ini. Tak sempat mungkin Kau berfiqir akan ada hari dimana masa mudamu melihat dirimu yang tua dimasa ini. Tapi sekarang Aku percaya itu, karena saat ini melakukannya sendiri.
Setiap gerak Jannah disampingmu seperti setiap geraknya dahulu disampingku, bedanya sekarang adegannya slowmotions. Sengaja atau memang sendi dan otot kalian memaksa seperti itu. Kalian melambat gerak pada saat waktu berjalan begitu cepat. Sampai akhirnya kini pagi Aku harus pulang melaporkan hasil pantauan malam ini.
Adegan apa yang kalian berdua hendak tunjukkan kepadaKu. Kalian hanya pasangan tua yang tinggal menunngu detik akhir usia masing-masing. Baikklah Aku sabar menunggu, umurKu masih banyak dibanding Aku dan Jannah yang beradegan dihadapKu.
Melihat diri sendiri dimasa tua adalah tak mungkin jika difiqirkan hari ini. Tak sempat mungkin Kau berfiqir akan ada hari dimana masa mudamu melihat dirimu yang tua dimasa ini. Tapi sekarang Aku percaya itu, karena saat ini melakukannya sendiri.
Setiap gerak Jannah disampingmu seperti setiap geraknya dahulu disampingku, bedanya sekarang adegannya slowmotions. Sengaja atau memang sendi dan otot kalian memaksa seperti itu. Kalian melambat gerak pada saat waktu berjalan begitu cepat. Sampai akhirnya kini pagi Aku harus pulang melaporkan hasil pantauan malam ini.
“Baginda pemerintah langit, IstriKu masih
tetap menepati janjinya, menemaniKu dihari tuanya, duduk bersama menikmati
segala kekurangan. Tanpa rasa malu, tanpa mengeluh dan tanpa pengkhianatan.”
Mendengar laporanKu yang dipaparkan secara
rinci Sang Pemerintah langit mengembalikanKu ditempat yang damai. Disana hanya
ada keindahan, tak nampak segala kerisauan manusia dibumi.
Kulihat juga Jannah disana, tersenyum mendekat
tampak mahkota emas indah dikepalanya. Setelah Ku bertanya lirih kepanya karena
rindu, Dia menjawab.
“Ini hadiah dari Pemerintah Langit akan janji
yang kutepati kepadaMu, suamiKu.”
Penghuni tempat damai ini pasti akan iri kepadaMu, engkau yang indah baik budi dan prilaku, baik paras dan prilaku. Aku bangga jadi suamiMu. Saat kini dan nanti.
0 comments:
Post a Comment