Sunday 18 January 2015

Serang Banten 1997




Sebelumnya aku tinggal lama di Kota Tangerang, sampai lulus SD dan melanjutkan sekolah menengah pertama di Serang Banten, tak tahu persis mengapa harus pindah, yang jelas pandanganku waktu itu kondisi keluarga sudah tak sanggup lagi untuk memaksakan hidup di Kota.
“Agra inilah Serang Banten, tempat kelahiran Ibu dan tempat baru untuk memulai kehidupan baru kita.”
Itulah kalimat pertama yang Ibuku ucapkan untuk meyakinkan semuanya akan baik-baik saja, bahkan lebih baik dari kehidupan dahulu di kota.
Ayahku tak bisa menolak keputusan Ibu untuk pindah saat itu, karena di Tangerang sudah tidak bisa bekerja lagi, aku ingat semua karena beberapa masalah, sama seperti yang dialami para buruh di perusahaan yang mulai turun volume penjualan dan produksinya.
“Kita bangun usaha baru kita yang mandiri dari nol disini.”
Itulah ucapan singkat dari seorang Bapak yang pendiam perangainya. Mungkin lebih baik aku diam juga untuk membuat semuanya tak menjadi persoalan yang sangat besar dalam kehidupan keluargaku.
Kulihat Serang Banten waktu itu, waktu tahun 1997 dengan kondisi yang masih terbelakang sekali. Belum ada otonomi daerah seperti sekarang sehingga untuk perbaikan jalan saja terlihat lambat menunggu keputusan dari pemerintahan pusat. Jalan yang penuh lubang dan bebatuan tak rata memberi guncangan saat perjalanan kami.
Hamparan sawah hijau nan luas dikanan dan kiri jalan, sungai-sungai mendampingi mengalir deras, hewan-hewan yang belum pernah aku temui wujud aslinya tersaji kini dikedua mataku.
Semuanya jauh berbeda, tak ada lagi sungai kotor penuh limbah industri, tak mungkin lagi harus membayar biaya sewa kolam renang disini mandi di sungai semaunya sepuasnya dan tak perlu lagi bersaing dengan anak-anak sekitar perihal mainan baru yang diberikan orang tua seperti di Tangerang. Inilah Serang yang damai.
Nikmat harus dinikmati perjalan kepindahan ini. Jika orang-orang berbondong dari desa ke kota, aku melakukan hal sebaliknya, meninggalkan hiruk pikuk kota untuk mencari kedamaian di desa.
“Kamu nanti Ibu kenalkan dengan Lusi yah.”
“Siapa itu Lusi?”
“Teman kamu bermain nanti dan sekolah juga, dia seumuran denganmu.”
“Tapi Bu,,, Agra sepertinya lebih suka....”
“Hustt... sudahlah pokoknya lihat nanti.”
Tampaknya Ibu masih melihat guratan kecewa diwajahku, ada sinar ketakutan yang mungkin jelas nampak, takut tidak punya teman, tidak bisa bermain ditempat baru atau takut tinggal di desa.
Entah siapa Lusi dan seperti apa wujudnya, yang aku mau sekarang adalah cepat sampai dan beristirahat di rumah, yang baru.

***

Jika kamu datang ke Serang Banten hari ini, mungkin sudah menyangka bahwa aku sekarang berdusta. Tak ada orang yang tak ingin tinggal disini, di kota berkembang dan nyaris maju sekarang.
Atau bagi kalian yang sudah lama tinggal di Serang Banten, ma’afkan jika aku terlalu berlebihan untuk menggambarkan keadaannya, yang kamu lihat sekarang berbeda dengan yang aku lihat dahulu di 1997.
Masih ada ikan cucut di sungai bahkan di selokan dekat rumah, masih ramai suara kodok dan jangkrik disetiap malamnya, masih luas pematang sawahnya berikut dengan burung-burung putih bernama burung kuntul yang saat itu aku kira burung bangau.
Saat itu, belum lahir juga para pemuda-pemudi yang kebut-kebutan dijalan bersama motor kreditan orang tuanya, yang ada grobak kecil berisi bambu yang ditarik kuda kekar. Indahnya saat itu, saat Serang Banten masih 1997. Tak akan kau dapati sampah demokrasi yang liar menempel di pohon, para pelaku usaha yang seenak jidatnya menempelkan iklan dan selebaran menjadi sampah kota, tata kota yang membuatmu bingung, mall-mall besar yang membuat pengusaha kecil iri, orang yang sedikit senyumnya, dan orang yang cepat jalannya khawatir telat pergi berangkat kekantor.
Jika sampai disini kamu rindu Banten yang dulu, yaitu Serang Banten di tahun 1997 yang saat ini aku ceritakan berarti kita satu arah. Memang tak seindah dan seromantis kota Paris, tapi untuk apa membanggakan kota lain yang kita belum pernah kesana.

***
Kusimpan dalam hati semuanya tentang Serang Banten di 1997 sebagai cerita indah yang aku bagian untuk keturunanku nanti yang belum sempat merasakannya.

15 comments:

  1. Wah Serang Banten 1997, gue baru setahun ngeliat bumi tuh. *salah fokus*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dasar alien... hehehe thanks Deva udah mau baca, syukurin hahaha

      Delete
  2. Oke, saya ga bangga sama Banten meski anak-anaknya keren karena ngendarain motor kreditan. Karena saya belum ke sana dan buat apa ngebanggain kota lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makannya yuk maen Rif, disini banyak kantor lising kreditan motor :D

      Delete
  3. kebetulan nih saya pernah tinggal di banten tepatnya di cilegon tapi cuma seminggu doang.

    ReplyDelete
  4. Replies
    1. Iya, yang berkesan dan lebih indah dari yang sekarang :)

      Delete
    2. Iya, kan yang lama lebih asri. :)

      Delete
  5. Semua kota "dulunya" pasti indah, seiring perkembangan jaman semua harus mengembangkan diri. Yang lalu biarlah berlalu. Saatnya kita anak bangsa melanjutkan pembangunan itu lebih baik lagi...*puk-puk kasih permen loli* :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. *Jilat permen lolinya
      Ok tapi jangan merusak keindahan dengan mengatasnamakan pembangunan

      Delete
  6. Sy blm pernah ke banten tapi suami pas blm menikah pernah kerja di Cilegon.

    ReplyDelete
  7. Bagi pengusaha yang menyukai ramah lingkungan maka pantas sekali menggunakan Tray Greenpack untuk produk makanannya. Saat ini penting sekali bagi kita untuk menyelamatkan lingkungan sekitar kita untuk menyelamatkan bumi kita dari pemanasan global warming.

    ReplyDelete