Aku sakit. Mungkin
karena kelelahan seharian ini mengurus anak-anak didikku kemarin. Acara yang
dirayakan disetiap sekolah dasar yaitu perayaan Hari Kartini.
Sendiri dikamar
kost yang sepi, tanpa televisi yang berhasil Aku beli dengan honor guru pembantu. Dan, seharusnya ada yang menemani atau sekedar memberi semangat. Namun
tidak untukku seorang wanita yang ditinggal pacarnya bekerja diluar Kota.
Kemarin semua
murid diwajibkan memakai pakaian kebaya, tetapi untuk yang lelaki hanya memakai
pakaian formal saja cukup. Tak mungkin juga murid lelakiku memakai kebaya.
Aku yang
juga diperintahkan kepala sekolah tempatku mengajar memakai kebaya. Untungnya ada
kebaya bekas Bi Mae yang ukurannya lebih kecil dibanding ukuran tubuhku. Tak apalah
yang penting bisa dipakai walau sesak dibagian dada.
![]() |
kira-kira sesempit ini kebayanya |
Kutemui kumpulan
muridku yang sudah berbaris rapi hendak pawai mengelilingi Kota Serang yang
panas ini. Dibarisan paling depan sudah berjalan Ibu Wati dan rombongan murid
kelas 5. Kami menyusul menyusuri bahu jalan Kota Serang yang mulai kusam ini.
Didepan ada Abub
si ketua kelas memimpin barisan agar tidak melipir ketengah jalan. Aku menjaga
dibelakangnya sambil menahan sakitnya kulit kaki bagian tumit yang mungkin
mulai lecet akibat sepatu Hak milik Bi Mae juga. Jalan Serang menjadi berwarna
terkena sinar matahari dan pantulan manik-manik kebaya warna-warni.
“Abub,
kemejanya bagus” sapaku pada murid kesayangan.
“hehehe, iya
Bu, ini punya Ka Agus waktu SD”
Masih gemetar
saja hati ini setiap mendengar nama Agus.
Pawai dimulai
dari depan gerbang sekolah dan diakhiri di Alun-alun Kota Serang. Cukup jauh
dan cukup pula membuat ketiak ini basah. Peduli basah pun tak masalah, ini
bukan kebaya milikku. Biar Bi Mae saja yang mencucinya nanti seraya mengeluhkan bau keringat. Sekedar penjelasan
saja, Bi Mae itu adalah Bibiku, dengan kata lain Dia adik Ibuku.
Akhirnya rombongan
sudah sampai di alun-alun, Aku bisa duduk sebentar meluruskan kaki yang sakit.
Sebelum rombongan harus balik lagi ke sekolah, kumanfaatkan saja waktu istirahat
ini.
“Eh Bu
Ningsih, kecapean yah ?”
“Iya, Bu
Wati, kakiku sakit pakai sepatu hak.”
Sepertinya Bu
Wati sengaja menghampiri, atau mungkin juga Dia ingin ikut beristirahat
disampingku. Sayangnya Dia tidak mau mengaku. Akui saja Bu ini tak membuatmu kehilangan wibawa.
“Pakai
kebaya itu ribet yah Bu,” tanyaku “Ibu gitu juga ga sih ?”
“Bu
Ningsihnya aja kali yang gak terbiasa.”
“Emang Bu
Wati biasa pake kebaya setiap hari ?”
“Iya”
“Hah ?”
“Iya, ini
kan pakaian tradisional daerahku” ia menjawab "jadi nyaman-nyaman saja."
“hmm”
Mendengar hal
itu aku jadi mengerti, bahwa ribet itu hal yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak
biasa dilakukan namun harus dilakukan. Jelas saja Bu Wati terlihat
nyaman-nyaman saja mengenakan pakaian ini, sedangkan Aku, ingin rasanya
mengganti dengan kaos oblong gambar hello kitty dan celana pendek yang
dikenakan setiap hari dikostan.
“begitupun
suatu hubungan loh Bu Ningsih” sahut Bu Wati kembali mengajak ngobrol.
“Kita akan
merasa terbebani disaat Kita tak nyaman menjalankannya”
“Oh, gitu
yah Bu ?”
“Klo sudah
gak nyaman buat apa diterusin, kesiksa nanti”
“Iya yah Bu”
jawabku pelan.
“Iyah, Bu
Ningsih masih nyaman kan dengan pasangan Ibu yang sekarang?”
Aku diam
saja tak bisa menjawab, sepertinya Bu Wati penasaran tentang hubunganku dengan
lelaki yang sekarang sibuk bekerja diluar kota. Kepada Bu Wati saja Aku
bercerita soal pacarku yang super sibuk itu. Cukup Ibu Wati saja yang tau semua
itu.
Beban menjalin hubungan jarak jauh, beban rindu yang terasa sesak disaat
ingin ada disampingnya, dan beban lainnya yang mulai membuat tak nyaman seperti
kebaya kesempitan ini.
Dalam hati
meronta ingin mengakhiri hubungan ini, sepeti keinganan melepas kebaya ini. Tapi
Aku gak mungkin berani bilang kepadanya. Bilang yang sejujurnya, klo hubungan
ini tak nyaman seperti kebaya kesempitan. Dan sepertinya Kami harus melanjutkan
pawai Kartini, kembali ke arah sekolah lalu pulang ke kostan, kembali merasakan
kaki lecet, baju sempit, panas matahari.
Andai Bu
Wati tau bagaimana rasanya harus dicurigai setiap hari, harus menahan rindu setiap
waktu, Bu Wati terlalu nyaman sehingga tidak merasakan hal itu semua.
Mungkin bisa
bertahan untuk hari ini, atau nanti tak mau seperti ini lagi. Mungkin masih
bisa ditahan hubungan seperti ini, atau nanti semua akan berakhir.
Seperti ini
lah keadaan seseorang yang harus menjalani cinta jarak jauhnya. Sakit sendiri,
tak ada yang mengurus dan memperhatikan. Andai saja Aku bisa memilih, pasti
saat itu Aku sangat ingin memilih kebaya dan sepatu yang nyaman dipakai. Memilih
cinta dan pasangan yang membuatku salalu nyaman.
Hah, mata
ini mulai mengantuk akibat obat yang tadi ku minum, jawablah pertanyaan ini
sebelum aku tertidur. Pernahkah kalian merasakan hal yang sama ? dan bagaimana
seharusnya yang aku lakukan ? selamat tidur.
Hehehe lucu dari cerita kebaya sampe akhirnya malah ke hubungan. Kirain mau dibikin heboh semacam ternyata dia hantu jamu gendong. Hehehehe.
ReplyDeleteOh iya, ada yang sedikit ditanyakan. Itu kenapa panggilan "Ku"-nya huruf pertama selalu huruf besar? Bukannya lebih lazim kalau menggunakan 'ibuku' 'pacarku' bukannya 'ibuKu' 'pacarKu' itu terkesan seperti menyebut Tuhan gitu ngga sih? semacam hamba-Nya. Hehehe.
Salam kenal ya :))
baiklah sudah diedit biar katanya lazim.
Deletesalam terKARUNG :)
yah udah keduluan, padahal aku jg mau nanya kenapa 'ku'-nya jadi 'Ku' :D
ReplyDeleterasa tidak nyaman sering menghampiri, tinggal bagaimana kita melewatinya dan mengubah rasa tidak nyaman itu menjadi hal yg mengasyikkan
makannya difollow biar dapet notif setiap ada postingan terbaru :p
Deletesaya akan ubah 'Ku' menjadi 'ku' biar kamu nyaman :p
Salam terKARUNG