Minggu pagi tanggal 7 oktober
1990 waktu itu, setelah penyatuan kembali negara Jerman, malam harinya orang
yang selalu aku panggil ibu, yang selalu aku merasa ada surga ketika dia
senyum, yang selalu aku takut jika mengutuk, dan yang selalu marah kalau baju
di lemari pakaianku acak-acakan melihat sosok wanita seperti bidadari memakai
gaun putih berambut panjang duduk didepan rumah yang baru dia sadari sekarang
ini kalau sosok itu adalah kuntilanak.
Ibuku hebat,
dia tidak takut, yang dia takutkan adalah bayi yang ada didalam kandungannya
keluar disaat sang ayah sedang masuk bekerja shift malam.
Jangan kamu menyangka dia ayah yang tidak bertanggung jawab, meninggalkan istri yang sedang
hamil tua sendirian. Dia sebagai ayah, sebagai tulang punggung keluarga harus
bekerja lebih keras demi mencukupi biaya persalinan istrinya. Kamu juga akan sepertinya
jika nanti jadi ayah, jangan mau enaknya saja dikamar pengantin, susahnya juga
harus kamu rasakan nanti.
Tangerang, tepatnya Jatake kampung pasifik yang lembab
sehabis diguyur hujan berat dari sore tadi. Orang-orang dirumah sibuk sendiri
menyiapkan apa yang harus ada ketika menghadapi persalinan meninggalkan ibu
dikamar sendiri memandangi kuntilanak dari jendela. Dia masih menganggap itu bidadari
penyambut kelahiran bayinya.
Ternyata perut
ibu berkata lain, benar saja, sang ayah tak kunjung datang karena sibuk
menggunting tumpukan karung goni hasil produksi ditempat dia bekerja. Kuntilanak
yang disangka bidadari pun hilang karena sudah ada suara ayam berkokok. Itu pagi
hari menjelang subuh saat mulai siaran RRI (Radio Republik Indonesia) bayi
didalamnya pun ikut keluar bersama tangis memecah kesunyian pagi.
“Anaknya
laki-laki Bu...” itu kata dukun beranak kepercayan warga desa kepada ayahku
yang dijemput paksa dirumahnya oleh tetangganya yang perduli dan tidak diberi izin
untuk mengadzani sang bayi.
Lalu ayah
mengangkat bayinya dengan perasaan sangat bangga, mengadzani ditelinga kanan
dan mengkomatkan ditelinga kiri tak lupa dia mencium kening si bayi dan ibu
yang masih lemas tapi bisa tersenyum lega.
“Siapa nama
anak kita?” tanya ibu dengan suaranya lembut.
Sang ayah
kaget karena baru pertamakali punya anak, dia belum menyiapkan nama untuk
bayinya, dia hanya menyiapkan biaya persalinan dan bekal makan sebelum bekerja
tadi.
“Siapa yah?”
bagai bertanya kepada dirinya sendiri lalu hening beberapa menit, “Oh, iya aku
sudah dapat namanya” kata ayah bagai mendapatkan ilham.
“Akan kunamai
dia, Ghani,” katanya.matanya mantap menatap wajah bayinya. “Lengkapnya, Abdul
Ghani.”
Semua orang
disana, yang ada ditempat persalinan ibu menyentuh dada masing-masing karena
kaget, tidak termasuk dukun beranak yang acuh sibuk mencuci tangannya bekas
darah. Ibu juga kaget, kenapa? Karena mereka tahu maksud si ayah memberi nama “Ghani”
berasal dari kalimat “Goni” nama karung.
“Bagaimana
istriku,” tanya ayah.
Menurutnya langkah
lebih baiknya nama bayi itu ditanyakan kepada pemuka agama setempat, karena
nama adalah do’a dari kedua orang tua, harus indah dan bermakna, harus tidak
termakan zaman, lebih difiqirkan serius.
***
Lelaki tua agak sepuh duduk
didepan rumahnya yang sejuk karena sinar matahari pagi tertutup dedaunan
rindang pohon belimbing yang sengaja ditanam. Ada tasbih ditangan kananya dan
ada rokok kretek ditangan kirinya. Cocok sekali kalau disebut: Ketika Kretek
Bertasbih.
Mbah Hamid. Pemuka agama terkenal di Jatake kampung
pasifik, tidak setenar Ki Joko Bodo dan Ki Kusumo. Tapi, dalam cerita ini
dialah orang paling berjasa bagi keluargaku.
“Mbah...” Sapa ayah menghampirinya.
“Wa’alaikumsalam, apa jangan.” Jawab Si Mbah.
“Oh, ma’af Mbah.. assalamualaikum.”
“Wa alaikumsalam... ada apa nih, mau minjem tasbeh?”
Ayah diam saja.
Tiba-tiba si
mbah bilang, “ngasih nama anak yang bener dong,” seolah dia sudah tau biduk
permasalahan yang dihadapi oleh keluarga yang baru dikarunia anak itu.
“Yang cocok
apa Mbah?”
“Ini bertepatan
dengan maulid Nabi, namakan Maulana.” Jawab Si Mbah.
“Terimakasih
mbah, itu nama yang baik.”
“Sisanya kamu
sendiri dan istrimu yang tentukan.”
Sepulang dari
rumah mbah hamid, ayah dan ibu kembali berdiskusi, dia kabarkan nama maulana
yang dia dapat dari Mbah Hamid dengan imbalan satu bungkus rokok kretek. Sampai
akhirnya “Ghani” dirubah menjadi “Dani”. Lalu lengkap sudah nama bayi tersebut
menjadi Dani Maulana.
Si Karung Goni sekarang lebih gondrong |
Terimakasih ibu, ayah, keluargaku, tetanggaku, ibu dukun beranak,
kuntilanak yag dikira bidadari, mbah hamid juga tenang yah di alam sana. Sebagai
balasan malam ini aku ciptakan buku ke-3 “Catatan Harian
Si Karung Goni – Opini Si Karung Goni.” padahal sekarang sedang sibuk menyelesaikan novel ke-2. Semoga kalian suka. Eh itu tandanya, buat kamu yang belum beli novel pertama "Lusi Si Ilusiana - Ilusi Cinta di Serang Banten 1997" harus cepetan, daripada ketinggalan.
Salam kawan Ter-Karung.
Wahahah, ada promosinya. Semoga kelar secepatnya ya mas
ReplyDeleteAmin... dunk u...
Deletepadahal ghani lebih keren, kan artinya kaya
ReplyDeleteoke bro sukses buat novelnya dan kalo bisa kirim ke gue ya secra gratis hehehehe
Gratis? Bisa... sertakan saja surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat :p
Delete