Sebelumnya aku tinggal lama di Kota Tangerang, sampai
lulus SD dan melanjutkan sekolah menengah pertama di Serang Banten, tak tahu
persis mengapa harus pindah, yang jelas pandanganku waktu itu kondisi keluarga
sudah tak sanggup lagi untuk memaksakan hidup di Kota.
“Agra inilah Serang Banten, tempat kelahiran Ibu dan
tempat baru untuk memulai kehidupan baru kita.”
Itulah kalimat pertama yang Ibuku ucapkan untuk
meyakinkan semuanya akan baik-baik saja, bahkan lebih baik dari kehidupan
dahulu di kota.
Ayahku tak bisa menolak keputusan Ibu untuk pindah saat
itu, karena di Tangerang sudah tidak bisa bekerja lagi, aku ingat semua karena
beberapa masalah, sama seperti yang dialami para buruh di perusahaan yang mulai
turun volume penjualan dan produksinya.
“Kita bangun usaha baru kita yang mandiri dari nol
disini.”
Itulah ucapan singkat dari seorang Bapak yang pendiam
perangainya. Mungkin lebih baik aku diam juga untuk membuat semuanya tak
menjadi persoalan yang sangat besar dalam kehidupan keluargaku.
Kulihat Serang Banten waktu itu, waktu tahun 1997 dengan
kondisi yang masih terbelakang sekali. Belum ada otonomi daerah seperti
sekarang sehingga untuk perbaikan jalan saja terlihat lambat menunggu keputusan
dari pemerintahan pusat. Jalan yang penuh lubang dan bebatuan tak rata memberi
guncangan saat perjalanan kami.
Hamparan sawah hijau nan luas dikanan dan kiri jalan,
sungai-sungai mendampingi mengalir deras, hewan-hewan yang belum pernah aku temui
wujud aslinya tersaji kini dikedua mataku.
Semuanya jauh berbeda, tak ada lagi sungai kotor penuh limbah
industri, tak mungkin lagi harus membayar biaya sewa kolam renang disini mandi
di sungai semaunya sepuasnya dan tak perlu lagi bersaing dengan anak-anak
sekitar perihal mainan baru yang diberikan orang tua seperti di Tangerang.
Inilah Serang yang damai.
Nikmat harus dinikmati perjalan kepindahan ini. Jika
orang-orang berbondong dari desa ke kota, aku melakukan hal sebaliknya,
meninggalkan hiruk pikuk kota untuk mencari kedamaian di desa.
“Kamu nanti Ibu kenalkan dengan Lusi yah.”
“Siapa itu Lusi?”
“Teman kamu bermain nanti dan sekolah juga, dia seumuran
denganmu.”
“Tapi Bu,,, Agra sepertinya lebih suka....”
“Hustt... sudahlah pokoknya lihat nanti.”
Tampaknya Ibu masih melihat guratan kecewa diwajahku, ada
sinar ketakutan yang mungkin jelas nampak, takut tidak punya teman, tidak bisa
bermain ditempat baru atau takut tinggal di desa.
Entah siapa Lusi dan seperti apa wujudnya, yang aku mau
sekarang adalah cepat sampai dan beristirahat di rumah, yang baru.
Jika kamu datang ke Serang Banten hari ini, mungkin sudah
menyangka bahwa aku sekarang berdusta. Tak ada orang yang tak ingin tinggal
disini, di kota berkembang dan nyaris maju sekarang.
Atau bagi kalian yang sudah lama tinggal di Serang
Banten, ma’afkan jika aku terlalu berlebihan untuk menggambarkan keadaannya,
yang kamu lihat sekarang berbeda dengan yang aku lihat dahulu di 1997.
Masih ada ikan cucut di sungai bahkan di selokan dekat
rumah, masih ramai suara kodok dan jangkrik disetiap malamnya, masih luas
pematang sawahnya berikut dengan burung-burung putih bernama burung kuntul yang
saat itu aku kira burung bangau.
Saat itu, belum lahir juga para pemuda-pemudi yang
kebut-kebutan dijalan bersama motor kreditan orang tuanya, yang ada grobak
kecil berisi bambu yang ditarik kuda kekar. Indahnya saat itu, saat Serang Banten
masih 1997. Tak akan kau dapati sampah demokrasi yang liar menempel di pohon,
para pelaku usaha yang seenak jidatnya menempelkan iklan dan selebaran menjadi
sampah kota, tata kota yang membuatmu bingung, mall-mall besar yang membuat
pengusaha kecil iri, orang yang sedikit senyumnya, dan orang yang cepat
jalannya khawatir telat pergi berangkat kekantor.
Jika sampai disini kamu rindu Banten yang dulu, yaitu
Serang Banten di tahun 1997 yang saat ini aku ceritakan berarti kita satu arah.
Memang tak seindah dan seromantis kota Paris, tapi untuk apa membanggakan kota
lain yang kita belum pernah kesana.
***
Kusimpan dalam hati semuanya tentang Serang Banten di 1997 sebagai cerita
indah yang aku bagian untuk keturunanku nanti yang belum sempat merasakannya.
Part of Novel Lusi Si Ilusiana - Cerita Cinta di Serang Banten 1997
Wah Serang Banten 1997, gue baru setahun ngeliat bumi tuh. *salah fokus*
ReplyDeleteDasar alien... hehehe thanks Deva udah mau baca, syukurin hahaha
DeleteOke, saya ga bangga sama Banten meski anak-anaknya keren karena ngendarain motor kreditan. Karena saya belum ke sana dan buat apa ngebanggain kota lain.
ReplyDeleteMakannya yuk maen Rif, disini banyak kantor lising kreditan motor :D
Deletekebetulan nih saya pernah tinggal di banten tepatnya di cilegon tapi cuma seminggu doang.
ReplyDeleteOoh ya? Cilegon mana?
DeleteCie Banten lama. :D
ReplyDeleteIya, yang berkesan dan lebih indah dari yang sekarang :)
DeleteIya, kan yang lama lebih asri. :)
DeleteSemua kota "dulunya" pasti indah, seiring perkembangan jaman semua harus mengembangkan diri. Yang lalu biarlah berlalu. Saatnya kita anak bangsa melanjutkan pembangunan itu lebih baik lagi...*puk-puk kasih permen loli* :D
ReplyDelete*Jilat permen lolinya
DeleteOk tapi jangan merusak keindahan dengan mengatasnamakan pembangunan
Sy blm pernah ke banten tapi suami pas blm menikah pernah kerja di Cilegon.
ReplyDeleteOh ya? wah tetanggaan mungkin kita
DeleteBagi pengusaha yang menyukai ramah lingkungan maka pantas sekali menggunakan Tray Greenpack untuk produk makanannya. Saat ini penting sekali bagi kita untuk menyelamatkan lingkungan sekitar kita untuk menyelamatkan bumi kita dari pemanasan global warming.
ReplyDeleteSpam nih Ye ;p
Delete